TUGAS PENGENDALIAN HAMA TERPADU
“Teknik – Teknik Pengambilan Sampel Hama”
Dosen Pembimbing
Agus Sutikno, SP, MSi
Disusun oleh:
BOIDI IRIANTO JUANDRI MANIK
1206113706
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
2014
Pengertian sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan
ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau
unsur yang akan kita teliti. Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti
tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya
sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b)
keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti
harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan
kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada
terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan
memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi
kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi
homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk
akal, misalnya untuk meneliti hama tanaman jeruk dari satu pohon jeruk
Agar
hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya
dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan
sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan
nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Syarat sampel yang baik
Secara umum,
sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik
populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa
mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah hama
pada tanaman jeruk sedangkan yang dijadikan sampel adalah hama tanaman jagung,
maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya
diukur (tanaman jeruk). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau
ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias”
(kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan
yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias”
atau kekeliruan adalah populasi.
Dari kejadian tersebut
ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu
sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel
dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap
mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi
estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat
mana estimasi kita dengan karakteristik
populasi.
Belum pernah ada
sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu
dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang
dikenal dengan nama “sampling error”
Presisi diukur oleh simpangan baku (standard
error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari
sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi pula
tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah
sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah
( Kerlinger, 1973 ).
Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel
dengan tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger
besar
kesa-
lahan
kecil
kecil besarnya
sampel besar
Ukuran
sampel
Ukuran
sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala
jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan
analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif,
ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan adalah
kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi,
maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi
beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat
keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia.
(Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap
elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci
maka jumlah sampelnya pun harus banyak.
Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel
sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya
paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10%
dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi,
penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian
eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992)
memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1.
Sebaiknya ukuran sampel di antara
30 s/d 500 elemen
2.
Jika sampel dipecah lagi ke
dalam subsampel, jumlah minimum subsampel harus 30
3.
Pada penelitian multivariate
(termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali
lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4.
Untuk penelitian eksperimen
yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10
s/d 20 elemen.
Teknik Pengambilan
Sampel
Secara umum, ada dua jenis teknik
pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random
sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling.
a.
Tehnik Sampling
secara Acak
Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan
sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen
populasi.
Pada sampel acak
(random sampling) dikenal dengan istilah simple
random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic
sampling, dan area sampling.
Syarat pertama yang harus
dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat
kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka
sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil
sebagai sampel. Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat
yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana
saja yang bisa dipilih menjadi sampel? Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel
Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa
dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak.
Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau
“random” itu sendiri.
1.
Simple Random
Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis
penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang
mungkin ada pada setiap unsur atau elemen
populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya.
Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk
bisa dipilih menjadi sampel
2.
Stratified Random
Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan
heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan
penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Dari setiap
stratum tersebut dipilih sampel secara acak.
3.
Cluster Sampling atau
Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara
pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel
acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki
karakteristik yang homogen, maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh
mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen.
4.
Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika
peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat
pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat
digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi
secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang
“keberapa”.
5. Area
Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada
situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah.
(Mustofa,
2000)
b.
Teknik Sampling
Terpilih
Yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen
populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.
Pada
nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling,
quota sampling, snowball sampling.
1. Convenience Sampling atau sampel yang
dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak
mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Oleh karena itu
ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental
sampling – tidak disengaja – atau juga captive
sample (man-on-the-street) Jenis
sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang
kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang
menggunakan jenis sampel ini, hasilnya
ternyata kurang obyektif.
2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau
tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti
menganggap bahwa sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi
penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
3. Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
4.
Quota
Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Bentuk Penafsiran
Tingkat Populasi Hama
Secara garis besar terdapat dua
teknik pendugaan kepadatan populasi serangga di penyimpanan, yaitu pendugaan
kepadatan absolut dan pendugaan kepadatan relatif. Selain itu, kepadatan populasi juga dapat
diduga dengan mengukur tingkat kerusakannya.
a.
Pendugaan Kepadatan
Absolut
Pendugaan kepadatan absolut
berdasar pada jumlah absolut serangga yang ikut tertangkap dalam contoh bahan
simpan yang diambil. Alat sampling yang
digunakan antara lain berupa spear untuk bahan simpan dalam kemasan/karung,
pneumatic sampler untuk bahan simpan curahan dan pelican sampler untuk bahan
simpan curahan yang sedang bergerak.
Pendugaan kepadatan absolut juga
dapat dilakukan secara tidak langsung dengan teknik penangkapan kembali
serangga yang ditandai secara radioaktif atau fluoresen. Dengan melepaskan sejumlah tertentu serangga
yang telah ditandai, kepadatan populasi dapat dihitung menurut rumus:
Dengan Q melambangkan kepadatan populasi, m
adalah jumlah serangga ditandai yang dilepaskan, n adalah jumlah total serangga
yang tertangkap dan r adalah jumlah serangga ditandai yang ikut tertangkap.
Teknik lain menggunakan alat ayakan/saringan dan corong Berlese.
b.
Pendugaan Kepadatan
Relatif
Berbeda dengan pendugaan
kepadatan populasi absolut, pendugaan kepadatan relatif menggunakan perangkap
yang tidak bisa memberikan data jumlah serangga per satuan berat bahan simpan,
luas area sampling dsb. Pendugaan ini
lebih tergantung pada keefektifan alat, misalnya data dari perangkap berperekat
tidak bisa dibandingkan dengan pitfall trap.
Perangkap berumpan akan berbeda hasilnya dengan perangkap berferomon. Perangkap sebenarnya adalah alat yang efektif
untuk deteksi dan monitoring serangga pascapanen, namun data hasil pendugaan
kepadatan relatif harus dapat dikonversi menjadi data kepadatan absolut dengan
pendekatan regresi yang tepat.
Pendugaan kepadatan relatif memang lebih mudah dilakukan, tapi tanpa
adanya korelasi dengan data kepadatan absolut, data yang diperoleh tidak
berarti apa-apa bagi pengendalian.
c.
Pendugaan berdasar
Tingkat Kerusakan yang Teramati
Selain pendugaan kepadatan
populasi absolut dan relatif, kepadatan populasi serangga juga dapat
diperkirakan dari tingkat kerusakan yang dapat diamati pada bahan simpan. Banyaknya biji yang terserang, jejak serangga
pada tepung simpanan, dan keberadaan sutera yang dihasilkan larva ngengat dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan populasi serangga pascapanen yang
menyebabkannya.
Adakalanya universe suatu
sampling sangat besar sehingga diperlukan waktu yang lama dan biaya
tinggi. Dalam kondisi seperti ini,
pekerjaan sampling menjadi tidak praktis sehingga diperlukan teknik sampling
alternatif yang lebih ekonomis namun masih dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya. Sejumlah teknik alternatif
itu diantaranya adalah:
· Sampling berjenjang (Hierachial
sampling), unit contoh dibagi menjadi sub-sub unit contoh dan satu sub unit contoh
dipilih untuk mewakili setiap unit contoh.
· Sampling berganda (Double sampling), dilakukan
sampling pendahuluan sebelum dilakukan sampling yang sebenarnya.
· Sampling dengan intensitas berubah-ubah
(Variable-intensity sampling), sampling dilakukan lebih intensif bila hasilnya
(misalnya rata-rata jumlah serangga) mendekati nilai kritis.
Faktor
yang Mempengaruhi Penyebaran Hama
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT dalam garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua (Little, 1971) yaitu:
1. Faktor dalam adalah faktor yang berada dalam tubuh
orgnisme seperti organ tubuh dan keadaan fisiologisnya.
2. Faktor luar adalah faktor yang berada di luar tubuh
organisme yang mempengaruhinya langsung dan tidak langsung yaitu faktor fisik,
biotik dan makanan.
Kedua kelompok tersebut bekerjasama membentuk corak
lingkungan hidup yang berbeda yang bersifat menekan atau merangsang
perkembangan OPT. kelompok factor luar dapat dibedakan lagi menjadi factor
fisik, biotic dan factor makanan.
Faktor fisik dapat dibedakan menjadi unsur cuaca dan
topografi suatu daerah merupakan faktor penghambat atau sekurang-kurangnya
mempengaruhi penyebaran OPT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan topografi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan faktor iklim dan secara tidak langsung
menimbulkan perbedaan tumbuhan yang tumbuh.
Faktor biotik adalah semua faktor yang pada dasarnya
bersifat hidup dan berperan dalam keseimbangan populasi OPT. Termasuk dalam
faktor biotik adalah parasit, predator, kompetisi dan resistensi tanaman.Faktor
makanan adalah unsur utama yang menentukan perkembangan OPT. tersedianya
inang(tanaman dan hewan) yang menjadi sumber makanan merupakan factor pembatas
dalam menentukan taraf kejenuhan populasi (carryng Capacity) lingkungan atas
OPT.
Faktor cuaca mempunyai peranan penting dalam siklus
kehidupan serangga. Dalam batas yang luas, cuaca mempengaruhi penyebarannya,
kelimpahanya, dan sebagai salah satu faktor utama penyebab timbulnya serangan
hama.
Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan
antara kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi
antara lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama
dipengaruhi oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi
yang dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap
suatu kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan
kematian, secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya
terhadap kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya.
Organisme, khususnya serangga mempunyai daya menahan
pengaruh faktor lingkungan fisik sehingga menjadi kebal. Organisme serangga
dapat mengatasi keadaan yang ekstrem berupa adaptasi yang berhubungan dengan
faktor genetis atau penyesuain yang sifatnya fisiologis. Serangga sesuai dengan
sifatnya mempunyai kemampuan meyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi karena
serangga juga mempunyai sayap, serangga dapat pindah menghindari tempat yang
ekstrim mencari tempat yang lebih sesuai.
Faktor cuaca dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam sistem
komunitas serangga anatara lain fisiologi, perilaku, dan ciri-ciri biologis
lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Faktor cuaca dapat dipisahkan
menjadi unsur-unsur cuaca: suhu, kelembaban, cahaya dan pergerakan udara/angin.
1. Suhu
Pengaruh suhu terhadap kehidupan serangga banyak dipelajari
di negara beriklim dingin/sedang, dimana suhu selalu berubah menurut musim. Di
negara tropika seperti Indonesia keadaanya berbeda, iklimnya hampir sama
sehingga variasi suhu relatif kecil. Perbedaan suhu yang nyata adalah karena
ketinggian. Serangga adalah organisme yang sifatnya poikilotermal sehingga suhu
badan serangga banyak dipengaruhi dan mengikuti perubahan suhu udara.
Beberapa aktifitas serangga dipengaruhi oleh suhu dan kisaran
suhu optimal bagi serangga bervariasi menurut spesiesnya. Secara garis besar
suhu berpengaruh pada kesuburan/produksi telur, laju pertumbuhan dan migrasi
atau penyebarannya.
Mengukur kecepatan pertumbuhan serangga dalam hubungannya
dengan suhu dapat dilakukan sengan thermal constant. Hal tersebut berdasarkan
asumsi bahwa terdapat hubungan antara perkembangan serangga dengan jumlah
thermal constant biasanya dinyatakan dengan hari derajat (day degree
accumulation). Walaupun kurang tepat namun sering digunakan untuk perkiraan
perkembangan serangga.
Kematian serangga dalam hubungannya dengan suhu terutama
berkaitan dengan pengaruh batas-batas ekstrim dan kisaran yang masih dapat
ditahanserangga (suhu cardinal). Suhu yang sangat tinggi mempunyai pengaruh langsung
terhadap denaturasi/ merusak sifat protein yang mengakibatkan serangga mati.
Pada suhu rendah kematian serangga terjadi karena terbentukknya kristal es
dalam sel.
2. Kelembaban
Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan
kandungan air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati
batas toleransinya. Berkurangnya kandungan air tersebut berakibat kerdilnya
pertumbuhan dan rendahnya laju metabolisme. Kandungan air dalam tubuh serangga
bervariasi dengan jenis serangga, pada umumnya berkisar antara 50-90% dari
berat tubuhnya. Pada serangga berkulit tubuh tebal kandungan airnya lebih
rendah.
Agar dapat mempertahankan hidupnya serangga harus selaluu
berusaha agar terdapat keseimbangan air yang tepat. Beberapa serangga harus
dilingkungan udara yang jenuh dengan uap air sedang yang lainnya mampu
menyesuaikan diri pada keadaan kering bahkan mampu menahan lapar untuk beberapa
hari. Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan
pertumbuhan serangga.
3. Cahaya
Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan,
perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung maupun
tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya membantu untuk
mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai.
Setiap jenis serangga membutuhkan intensitas cahaya yang
berbeda untuk aktifitasnya. Berdasarkan hasl di atas serangga dapat digolongkan
menjadi :
o Serangga diurnal yaitu serangga yang membutuhkan
intensitas cahaya tinggi aktif pada siang hari
o Serangga krepskular adala serangga yang membutuhkan
intensitas cahaya sedang aktif pada senja hari.
o Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan
intensitas cahaya rendah aktif pada malam hari.
4. pergerakan udara
Pergerakan udara merupakan salah satu faktor yang penting
dalam penyebaran kehidupan serangga. Penyebaran arah serangga kadang mengikuti
arah angin.
Faktor fisik dapat dibedakan menjadi unsur cuaca dan
topografi suatu daerah merupakan faktor penghambat atau sekurang-kurangnya
mempengaruhi penyebaran OPT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan topografi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan faktor iklim dan secara tidak langsung
menimbulkan perbedaan tumbuhan yang tumbuh.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia).
Gadjah Mada University Press.
AnonymousB. Hama Penting Tanaman Cabai. http://buletinagraris.blogspot.com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html
Gay dan Diehl, 1992. Plant Pathosystems.
Springer-Verlag, Berlin, 184 p.
Kerlinger, 1973. hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat
kesalahan. Springer-Verlag, Amerika.
Little, 1971. TEKNIK SAMPLING. Niaga
Swadaya. Jakarta.
Mustofa, 2000. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian OPT pada Tanaman Tomat.
Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta.
Maheswari, R. 1970. The physiology of penetration and infection by
urediospores of rust fungi. Dalam: Plant Disease Problems, Proceedings of the
First International Symposium on Plant Pathology, Indian Phytopathological
Society 1966/1967 : 824-829.
Nan Lin, 1976. Syarat – Syarat Pemilihan Sampel. Universitas Brawijaya. Fakultas Pertanian.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Malang..
Pracaya, 1992. Hama Penyakit Tanaman,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Singarimbun dan Effendy, 1989. Faktor – Faktor Dalam Menentukan
Ukuran Sampel.
http://buletinagraris.blogspot.com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html
Tim Dosen jurusan Hama
Penyakit Tumbuhan. 2011. Modul Praktikum Peramalan Hama dan Epidomologi
Penyakit Tumbuhan. Universitas Brawijaya. Fakultas Pertanian. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Malang.
Tjahjadi N., 1991. Hama dan Penyakit
Tanaman, Kanisius, Yogyakarta.
Uma Sekaran. 1992. Pengertian dan Kegunaan Pengambilan Sampel. lampung.litbang.deptan.go.id/ind/.../teknologibudidayacabai.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar