Jumat, 27 Maret 2015

Tugas Pengendalian Hama Terpadu



TUGAS PENGENDALIAN HAMA TERPADU
“Teknik – Teknik Pengambilan Sampel Hama”

Dosen Pembimbing
Agus Sutikno, SP, MSi


Disusun oleh:
BOIDI IRIANTO JUANDRI MANIK
1206113706



 





JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
2014


Pengertian sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti hama tanaman jeruk dari satu pohon jeruk   
            Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .

 

Syarat sampel yang baik


Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah hama pada tanaman jeruk sedangkan yang dijadikan sampel adalah hama tanaman jagung, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (tanaman jeruk). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan  adalah populasi.
        Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita  dengan karakteristik populasi.
         Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin  bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ).
Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger

                       besar
        kesa-
        lahan               
                         kecil
                                      kecil           besarnya sampel          besar


Ukuran sampel

         Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan adalah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
         Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia. (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil.  Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak.          Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
          Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
          Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992)  memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1.      Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2.      Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel, jumlah minimum subsampel harus 30
3.      Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4.      Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.

Teknik Pengambilan Sampel

      Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling.
a.       Tehnik Sampling secara Acak
Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi.
Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling.
Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama  “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel? Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

1.      Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen  populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel
2.      Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak.
3.      Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen, maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen.
4.         Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.
5.      Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah.
(Mustofa, 2000)

b.      Teknik Sampling Terpilih
Yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.
 Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling.
1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample  (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini,  hasilnya ternyata kurang obyektif.

2.      Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.

3.   Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.

4.     Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.

Bentuk Penafsiran Tingkat Populasi Hama

Secara garis besar terdapat dua teknik pendugaan kepadatan populasi serangga di penyimpanan, yaitu pendugaan kepadatan absolut dan pendugaan kepadatan relatif.  Selain itu, kepadatan populasi juga dapat diduga dengan mengukur tingkat kerusakannya.

a.       Pendugaan Kepadatan Absolut
Pendugaan kepadatan absolut berdasar pada jumlah absolut serangga yang ikut tertangkap dalam contoh bahan simpan yang diambil.  Alat sampling yang digunakan antara lain berupa spear untuk bahan simpan dalam kemasan/karung, pneumatic sampler untuk bahan simpan curahan dan pelican sampler untuk bahan simpan curahan yang sedang bergerak.
Pendugaan kepadatan absolut juga dapat dilakukan secara tidak langsung dengan teknik penangkapan kembali serangga yang ditandai secara radioaktif atau fluoresen.  Dengan melepaskan sejumlah tertentu serangga yang telah ditandai, kepadatan populasi dapat dihitung menurut rumus:
            Dengan Q melambangkan kepadatan populasi, m adalah jumlah serangga ditandai yang dilepaskan, n adalah jumlah total serangga yang tertangkap dan r adalah jumlah serangga ditandai yang ikut tertangkap. Teknik lain menggunakan alat ayakan/saringan dan corong Berlese.

b.      Pendugaan Kepadatan Relatif
Berbeda dengan pendugaan kepadatan populasi absolut, pendugaan kepadatan relatif menggunakan perangkap yang tidak bisa memberikan data jumlah serangga per satuan berat bahan simpan, luas area sampling dsb.  Pendugaan ini lebih tergantung pada keefektifan alat, misalnya data dari perangkap berperekat tidak bisa dibandingkan dengan pitfall trap.  Perangkap berumpan akan berbeda hasilnya dengan perangkap berferomon.  Perangkap sebenarnya adalah alat yang efektif untuk deteksi dan monitoring serangga pascapanen, namun data hasil pendugaan kepadatan relatif harus dapat dikonversi menjadi data kepadatan absolut dengan pendekatan regresi yang tepat.    Pendugaan kepadatan relatif memang lebih mudah dilakukan, tapi tanpa adanya korelasi dengan data kepadatan absolut, data yang diperoleh tidak berarti apa-apa bagi pengendalian.

c.       Pendugaan berdasar Tingkat Kerusakan yang Teramati
Selain pendugaan kepadatan populasi absolut dan relatif, kepadatan populasi serangga juga dapat diperkirakan dari tingkat kerusakan yang dapat diamati pada bahan simpan.  Banyaknya biji yang terserang, jejak serangga pada tepung simpanan, dan keberadaan sutera yang dihasilkan larva ngengat dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan populasi serangga pascapanen yang menyebabkannya.
Adakalanya universe suatu sampling sangat besar sehingga diperlukan waktu yang lama dan biaya tinggi.  Dalam kondisi seperti ini, pekerjaan sampling menjadi tidak praktis sehingga diperlukan teknik sampling alternatif yang lebih ekonomis namun masih dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.  Sejumlah teknik alternatif itu diantaranya adalah:
·         Sampling berjenjang (Hierachial sampling), unit contoh dibagi menjadi sub-sub unit contoh dan satu sub unit contoh dipilih untuk mewakili setiap unit contoh.
·    Sampling berganda (Double sampling), dilakukan sampling pendahuluan sebelum dilakukan sampling yang sebenarnya.
·   Sampling dengan intensitas berubah-ubah (Variable-intensity sampling), sampling dilakukan lebih intensif bila hasilnya (misalnya rata-rata jumlah serangga) mendekati nilai kritis.

Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Hama

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi dua (Little, 1971) yaitu:
1. Faktor dalam adalah faktor yang berada dalam tubuh orgnisme seperti organ tubuh dan keadaan fisiologisnya.
2. Faktor luar adalah faktor yang berada di luar tubuh organisme yang mempengaruhinya langsung dan tidak langsung yaitu faktor fisik, biotik dan makanan.
Kedua kelompok tersebut bekerjasama membentuk corak lingkungan hidup yang berbeda yang bersifat menekan atau merangsang perkembangan OPT. kelompok factor luar dapat dibedakan lagi menjadi factor fisik, biotic dan factor makanan.
Faktor fisik dapat dibedakan menjadi unsur cuaca dan topografi suatu daerah merupakan faktor penghambat atau sekurang-kurangnya mempengaruhi penyebaran OPT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan topografi yang menyebabkan terjadinya perbedaan faktor iklim dan secara tidak langsung menimbulkan perbedaan tumbuhan yang tumbuh.
Faktor biotik adalah semua faktor yang pada dasarnya bersifat hidup dan berperan dalam keseimbangan populasi OPT. Termasuk dalam faktor biotik adalah parasit, predator, kompetisi dan resistensi tanaman.Faktor makanan adalah unsur utama yang menentukan perkembangan OPT. tersedianya inang(tanaman dan hewan) yang menjadi sumber makanan merupakan factor pembatas dalam menentukan taraf kejenuhan populasi (carryng Capacity) lingkungan atas OPT.
Faktor cuaca mempunyai peranan penting dalam siklus kehidupan serangga. Dalam batas yang luas, cuaca mempengaruhi penyebarannya, kelimpahanya, dan sebagai salah satu faktor utama penyebab timbulnya serangan hama.
Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian, secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya.
Organisme, khususnya serangga mempunyai daya menahan pengaruh faktor lingkungan fisik sehingga menjadi kebal. Organisme serangga dapat mengatasi keadaan yang ekstrem berupa adaptasi yang berhubungan dengan faktor genetis atau penyesuain yang sifatnya fisiologis. Serangga sesuai dengan sifatnya mempunyai kemampuan meyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi karena serangga juga mempunyai sayap, serangga dapat pindah menghindari tempat yang ekstrim mencari tempat yang lebih sesuai.
Faktor cuaca dapat mempengaruhi segala sesuatu dalam sistem komunitas serangga anatara lain fisiologi, perilaku, dan ciri-ciri biologis lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Faktor cuaca dapat dipisahkan menjadi unsur-unsur cuaca: suhu, kelembaban, cahaya dan pergerakan udara/angin.
1.      Suhu
Pengaruh suhu terhadap kehidupan serangga banyak dipelajari di negara beriklim dingin/sedang, dimana suhu selalu berubah menurut musim. Di negara tropika seperti Indonesia keadaanya berbeda, iklimnya hampir sama sehingga variasi suhu relatif kecil. Perbedaan suhu yang nyata adalah karena ketinggian. Serangga adalah organisme yang sifatnya poikilotermal sehingga suhu badan serangga banyak dipengaruhi dan mengikuti perubahan suhu udara.
Beberapa aktifitas serangga dipengaruhi oleh suhu dan kisaran suhu optimal bagi serangga bervariasi menurut spesiesnya. Secara garis besar suhu berpengaruh pada kesuburan/produksi telur, laju pertumbuhan dan migrasi atau penyebarannya.
Mengukur kecepatan pertumbuhan serangga dalam hubungannya dengan suhu dapat dilakukan sengan thermal constant. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa terdapat hubungan antara perkembangan serangga dengan jumlah thermal constant biasanya dinyatakan dengan hari derajat (day degree accumulation). Walaupun kurang tepat namun sering digunakan untuk perkiraan perkembangan serangga.
Kematian serangga dalam hubungannya dengan suhu terutama berkaitan dengan pengaruh batas-batas ekstrim dan kisaran yang masih dapat ditahanserangga (suhu cardinal). Suhu yang sangat tinggi mempunyai pengaruh langsung terhadap denaturasi/ merusak sifat protein yang mengakibatkan serangga mati. Pada suhu rendah kematian serangga terjadi karena terbentukknya kristal es dalam sel.
2.      Kelembaban
Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan kandungan air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati batas toleransinya. Berkurangnya kandungan air tersebut berakibat kerdilnya pertumbuhan dan rendahnya laju metabolisme. Kandungan air dalam tubuh serangga bervariasi dengan jenis serangga, pada umumnya berkisar antara 50-90% dari berat tubuhnya. Pada serangga berkulit tubuh tebal kandungan airnya lebih rendah.
Agar dapat mempertahankan hidupnya serangga harus selaluu berusaha agar terdapat keseimbangan air yang tepat. Beberapa serangga harus dilingkungan udara yang jenuh dengan uap air sedang yang lainnya mampu menyesuaikan diri pada keadaan kering bahkan mampu menahan lapar untuk beberapa hari. Kelembaban juga mempengaruhi sifat-sifat, kemampuan bertelur dan pertumbuhan serangga.


3.      Cahaya
Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya membantu untuk mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai.
Setiap jenis serangga membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda untuk aktifitasnya. Berdasarkan hasl di atas serangga dapat digolongkan menjadi :
o Serangga diurnal yaitu serangga yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi aktif pada siang hari
o Serangga krepskular adala serangga yang membutuhkan intensitas cahaya sedang aktif pada senja hari.
o Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya rendah aktif pada malam hari.
4. pergerakan udara
Pergerakan udara merupakan salah satu faktor yang penting dalam penyebaran kehidupan serangga. Penyebaran arah serangga kadang mengikuti arah angin.
Faktor fisik dapat dibedakan menjadi unsur cuaca dan topografi suatu daerah merupakan faktor penghambat atau sekurang-kurangnya mempengaruhi penyebaran OPT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan topografi yang menyebabkan terjadinya perbedaan faktor iklim dan secara tidak langsung menimbulkan perbedaan tumbuhan yang tumbuh.









DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia). Gadjah Mada University Press.
Gay dan Diehl, 1992. Plant Pathosystems. Springer-Verlag, Berlin, 184 p.
Kerlinger, 1973. hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan. Springer-Verlag, Amerika.
Little, 1971. TEKNIK SAMPLING. Niaga Swadaya. Jakarta.
Mustofa, 2000. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian OPT pada Tanaman Tomat. Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta.
Maheswari, R. 1970. The physiology of penetration and infection by urediospores of rust fungi. Dalam: Plant Disease Problems, Proceedings of the First International Symposium on Plant Pathology, Indian Phytopathological Society 1966/1967 : 824-829.
Nan Lin, 1976. Syarat – Syarat Pemilihan Sampel.  Universitas Brawijaya. Fakultas Pertanian. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Malang..
Pracaya, 1992. Hama Penyakit Tanaman, Penebar Swadaya, Jakarta.
Singarimbun dan Effendy, 1989. Faktor – Faktor Dalam Menentukan Ukuran Sampel. http://buletinagraris.blogspot.com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html
Tim Dosen jurusan Hama  Penyakit Tumbuhan. 2011. Modul Praktikum Peramalan Hama dan Epidomologi Penyakit Tumbuhan. Universitas Brawijaya. Fakultas Pertanian. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Malang.
Tjahjadi N., 1991. Hama dan Penyakit Tanaman, Kanisius, Yogyakarta.
Uma Sekaran. 1992. Pengertian dan Kegunaan Pengambilan Sampel. lampung.litbang.deptan.go.id/ind/.../teknologibudidayacabai.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar